APAKAH MASIH PERLU TABIR PEMISAH LELAKI DAN PEREMPUAN DI MASJID MUHAMMADIYAH ?

2025-07-03 | admin

Muktamar Tarjih di Sidoarjo memutuskan tetap adanya hijab dalam rapat Muhammadiyah yang dihadiri oleh Laki-laki dan Perempuan. Adapun cara pelaksanannya diserahkan kepada yang bersangkutan dengan mengingat atau memperhatikan kondisi, waktu dan tempat. Keputusan Muktamar Tarjih 1968 didasarkan pada Firman Allah swt pada QS. An-Nur : 30-31 tentang laki-laki dan perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangan, memelihara kemaluan; jangan menampakkan perhiasannya (aurat), kecuali yang (biasa) terlihat.

Ayat di atas memberi pengertian bahwa pandang-memandang antar pria dan wantia lain (yang bukan mahram atau bukan suami isteri) tanpa hajat syar’i, begitu pula pergaulan bebas antara pria dan wantia, dilarang oleh Islam. 

Kisah Soekarno Walk Out Karena Tabir dari Rapat Muhammadiyah

Catatan menarik kala Sukarno menyoal penggunaan tabir di suatu rapat Muhammadiyah Bengkulu (Januari 1939). Sikap protes Sukarno ditunjukkan dengan cara walk out (meninggalkan) rapat tersebut. Pasca kejadian, Sukarno bertemu dengan tokoh Muhammadiyah Haji Syuja dan Samaun Bakri. Keduanya sepakat dengan pandangan Sukarno. Haji Syuja menyebut tabir memang tidak diperlukan, karena KH Ahmad Dahlan pun berpendapat demikian.

Protes Sukarno masalah tabir nyatanya karena Sukarno menaruh harapan besar agar Muhammadiyah berhasil mengangkat umat dari pandangan kolot yang membelenggu untuk maju, dalam surat kabar Pandji Islam tahun itu, Sukarno berkata :

“…Saya adalah murid dari Historische School van Marx. Hal tabir itu saya pandang historisch pula, zuiver onpersoonlijk (bukan hal personal). Tampaknya seperti soal kecil, soal kain yang remeh. Tapi pada hakekatnya, soal mahabesar dan mahapenting, soal yang mengenai segenap maatsschappelijke positive (posisi sosial) kaum perempuan. Saya ulangi : tabir ialah simbol dari perbudakan kaum Perempuan ! Meniadakan perbudakan itu adalah pula satu historische plicht (tugas sejarah)!” 

Sukarno dalam protesnya menganggap penggunaan tabir melambangkan cara pandang Islam yang mundur. Tabir sendiri adalah pembatas perempuan dan laki-laki yang membuat jamaah perempuan tidak dapat melihat penceramaah atau jamaah lain dari lawan jenis.

Tak cukup dengan uraian dari Haji Syuja yang dikenal sebagai periwayat KH. Ahmad Dahlan, Sukarno meminta ketegasan soal hukum Islam dan pandangan Muhammadiyah ke tokoh Muhammadiyah lain yang juga sahabatnya, Kiai Haji Mas Mansur. Sukarno menganggap perintah Allah menundukkan pandangan (ghaddul bashar) sudah cukup sebagai pedoman dalam relasi muamalah laki-laki dan perempuan sehingga tidak perlu tambahan seperti tabir yang justru membuat perempuan terkungkung.

Batasan Aurat ?

Para ulama berbeda pendapat mengenai batas-batas aurat wanita, yang demikian karena perbedaan penafsiran QS. An-Nur : 30-31.

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka menundukan pandangannya dan menjaga kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. An-Nur : 30)

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang mu’min: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ketubuhnya. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab : 59)

Untuk memahami ayat tersebut, perlu memahami lebih dahulu dua kata kunci yaitu : aurat dan jilbab. Aurat menurut bahasa berarti : segala sesuatu yang harus ditutupi; segala sesuatu yang menjadikan malu apabila dilihat. Menurut istilah, ‘aurat ialah anggota badan manusia yang wajib ditutupi, dan haram dilihat oleh orang lain, kecuali orang-orang yang disebutkan pada QS. An-Nur : 31. 

Jilbab berasal dari kata jalbaba yang berarti memakai baju kurung. Para ulama berbeda pendapat mengenai arti jilbab. Sebagian ulama mengartikannya baju kurung; sedang ulama lainnya mengartikannya baju wanita yang longgar yang dapat menutupi kepala dan dada. Al-Asy’ary berpendapat jilbab ialah baju yang menutupi seluruh badan. Ulama lain berpendapat bahwa jilbab ialah kerudung wanita yang dapat menutupi kepala, dada, punggung. (Ibnu Manzur, Lisanul’ Arab). Menurut Ibnu Abbas, jilbab ialah jubah yang dapat menutup badan dari atas hingga ke bawah. Menurut al-Qurtuby, jilbab ialah baju yang dapat menutup seluruh badan. Maka ditarik kesimpulan jilbab mempunyai pengertian :

  1. Jilbab ialah kerudung yang dapat menutup kepala, dada dan punggung yang biasa dipakai oleh kaum wanita.
  2. Jilbab ialah semacam baju kurung yang dapat menutup seluruh tubuh, yang biasa dipakai kaum wanita.

Jika pengertian tersebut digabung maka jilbab ialah pakaian wanita yang terdiri dari kerudung dan baju kurung yang dapat menutup seluruh auratnya.

Dalam Tanya Jawab Agama Jilid 7 tentang Aurat dan Jilbab, majelis Tarjih berpandangan bahwa pendapat aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan adalah lebih kuat, dan pendapat tersebut lebih pas bagi muslimah di Indonesia. Diantara dalilnya adalah HR. Abu Dawud, Rasulullah saw. bersabda, yang artinya : “Wahai Asma, sesungguhnya seorang perempuan itu jika sudah haid (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya (HR. Abu Dawud).

Dalil yang memperkuat pendapat bahwa wajah dan dua telapak tangan adalah bukan aurat, ialah bahwa dalam melakukan shalat dan ihram, perempuan harus membuka wajah dan dua telapak tangannya. Seandainya kedua anggota badan tersebut termasuk aurat, pasti tidak diperbolehkan membuka keduanya pada waktu mengerjakan shalat dan ihram, sebab menutup aurat adalah wajib, tidaklah sah shalat atau ihram seseorang jika terbuka auratnya.

Tanya Jawab Agama Jilid 4 masih tentang masalah wanita, Majelis Tarjih memberikan tanggapan pada pertanyaan bagaimana hukumnya perempuan memakai cadar dan apakah ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan hadis ? Dengan mengemukakan QS. An-Nur : 31, QS. al-Ahzab : 59, dan HR. Abu Dawud dari ‘Aisyah ra, tentang batas aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, sebagai dasar. Ketiga dalil/nash tersebut tidak mengisyarakatkan perintah pemakaian cadar, bahkan jika diperhatikan, pemakaian cadar bertentangan dengan isi ayat-ayat dan hadis di atas.

Muhammadiyah lebih meyakini bahwa pada diri muslimah keseluruhannya adalah aurat kecuali bagian wajah dan telapak tangan, hal ini didasarkan pada pemahaman komprehensif atas ayat-ayat al-Quran dan beberapa hadis maqbul

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَٱشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوٓا إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A‘raf : 31)

Kata zinatakum pada ayat diatas dimaknai dengan baju ketika shalat atau terjemahan bebasnya adalah menutup aurat ketika shalat. Telapak tangan pada kutipan dalil-dalil di atas dimaknai bagian dalam dan luar/punggung tangan. Hal ini dinukil dari pendapat Ibnu ‘Abbas, Abu Ishaq as-Suba’i dan Abu al-Ahwas dalam tafsir Ibnu Katsir berkenaan dengan lafal Wala Yubdina Zinatahunna adalah memperbolehkan cincin seorang muslimah untuk terlihat, sementara gelang tangan-kaki, anting-anting dan kalung tidaklah diperbolehkan dengan alasan letak perhiasan tersebut di bagian tubuh yang merupakan aurat muslimah dan bukan pada zat perhiasan itu sendiri (Ibnu Katsir, III 

Oleh : Dr. Sarli Amri, M.Ag

← Kembali
WhatsApp
Ada pertanyaan? Silakan hubungi kami